Jumat, 30 Desember 2011

Meneladani Perilaku Bisnis Nabi Muhammad saw.

Sebagai Nabi terakhir yang diutus untuk menyempurnakan ajaran-ajaran Allah, Rasulullah Muhammad adalah suri teladan yang baik, “Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut nama Allah” (Q.S. al-Ahzab [33]: 21). Akan tetapi, harus diingat, Nabi Muhammad saw. juga seorang manusia biasa, yang membutuhkan makan, minum, berkeluarga, bertetangga, berpolitik, dan berbisnis, serta berkepentingan untuk memimpin umatnya.

Sisi kemanusiaan Rasulullah Muhammad ini perlu dilihat sebagai motivasi kita untuk merasa memiliki kesempatan yang sama dalam bekerja untuk beribadah. Kota Dagang tempat kelahirannya, Mekkah, telah menempanya untuk menjadi pedagang yang lihai dalam bertransaksi bisnis. Pamannya yang bernama Abi Tholib telah mengajarkan tehnik berdagang yang super canggih, bahkan harus dengan menempuh perjalanan ke Syiria dan Yastrib (Madinah). Dalam menjalankan transaksi bisnisnya, Rasulullah Muhammad melakukannya dengan kejujuran, adil, dan selalu membuat pelanggannya merasa puas, tanpa mengeluh dan kecewa. Beliau selalu menepati janji dan menjual barang dagangannya sesuai standar kualitas permintaan pelanggannya. Reputasinya sebagai pedagang yang jujur dan adil telah tertanam dengan baik sejak muda, hingga pada akhirnya mendapat julukan Al-amin (yang dapat dipercaya).
Keyakinan Rasulullah Muhammad akan kebenaran ajaran Allah untuk selalu berbuat jujur dan adil dalam bekerja tak hanya terpatri dalam hati dan terurai di lisan, tapi terimplemantasi dalam perbuatan kesehariannya. Ini adalah prinsip dasar yang selalu menjadi landasan untuk bersikap professional dalam berdagang. Beliau tak hanya sekali atau dua kali dalam menekankan ajaran tersebut.
“Tidak ada satu pun makanan yang lebih baik daripada yang dimakan dari hasil keringat sendiri.” (H.R. Al-Bukhari)
“Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan sebuah kewajiban, di samping tugas-tugas lain yang diwajibkan.” (H.R. Al-Baihaqi).
“Segala sesuatu yang halal dan haram sudah jelas, tetapi di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar dan tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhato-hati terhadap barang yang meragukan, berarti telah menjaga agama dan kehormatan dirinya. Tetapi, barang siapa yang mengikuti hal-hal yang meragukan berarti telah terjerumus pada yang haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sebuah ladang yang terlarang dan membiarkan ternaknya memakan rumput itu. Setiap penguasa mempunyai peraturan-peraturan yang tidak boleh dilanggar, dan Allah melarang segala sesuatu yang dinyatakan haram.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

0 komentar:

Posting Komentar