Selasa, 13 November 2012

Mendesak, Upaya Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menjadi tumpuan ketahanan bangsa.
 
Penguatan nilai ketuhanan sebagai landasan spiritualitas dan motalitas berbangsa dan bernergara pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan dalam sistem pendidikan.

Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, non-formal maupun informal, menjadi tumpuan untuk  melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Karakter yang mencerminkan kualitas kepribadian dan merit.  Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral seseorang, seperti keterpercayaan dan kejujuran; penghargaan atas keragaman potensi dan identitas insani serta ketegaran dalam menghadapi kesulitan, ketidakenakan dan kegawatan.

Pendidikan karakter menjadi tumpuan ketahanan bangsa. Dalam peribahasa Inggris dikatakan, “When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.” Begitu pentingnya karakter, sehingga tujuan terjauh dari risalah kenabian tak lain adalah untuk  menyempurnakan akhlak manusia.

Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter.  Setiap komponen memberikan perbedaan tekanan tentang apa yang penting dan dan apa yang semestinya diajarkan.

Pendidikan moral menitikberatkan dimensi etis dari individu dan masyarakat serta memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Agama dan filsafat menyediakan fondasi  untuk diskusi-diskusi moral dan pertimbangan-pertimbangan etis tentang bagaimana restorasi nilai-nilai kebajikan berlangsung di dunia pendidikan.

Pendidikan kewargaan (civic education) diorientasikan untuk menumbuhkan moral dan karakter kolektif sebagai bangsa. Seperti diingatkan oleh Bung Karno, “Perjoangan sesuatu bangsa membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno, 1958).

Pendidikan kewargaan memberikan kesempatan bagi ragam peserta didik untuk memahami nilai-nilai publik bersama (shared values) yang terkristalisasikan dalam nilai-nilai Pancasila. Melalui pendidikan ini, peserta didik diberikan kesempatan untuk belajar terlibat dalam proses-proses demokratis yang berlangsung di dunia pendidikan dan komunitas. Watak sipil, karakteristik warga negara yang baik dalam sistem demokrasi diamati dan ditekankan baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam aktivitas ekstra kurikuler.

Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan civitas akademika. Sikap dan nilai dasar dari masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di lingkungan pendidikan dan komunitas. Pendidikan bersifat sarat nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani.

Moral ditangkap (caught) bukan diajarkan (taught) dan kehidupan di ruang kelas jumbuh dengan makna moral yang membentuk karakter siswa dan perkembangan moral (Ryan, 1996: 75)
Peran dunia pendidikan dalam pengembangan karakter terasa kian mendesak, ketika dihadapkan adanya kesenjangan yang menganga antara idealitas Pancasila dengan realitas kehidupan Publik. Kepedulian terhadap Pancasila berhenti sebagai komedi omong, yang tingkat kedalamannya hanya sampai di tenggorokan. Kadar pembumian Pancasila hanyalah berayun dari seremoni penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) ke seremoni sosialisasi 4P (Empat Pilar), tanpa kekayaan metodologi dan perluasan imajinasi pematrian nilai-nilai Pancasila itu dalam pembentukan karakter bangsa.

Dalam menghadapi tantangan ini, perlu disadari bahwa setiap pandangan hidup atau ideologi yang ingin mempengaruhi kehidupan secara efektif, tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, melainkan perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses “pengakaran” (radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).

Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus diyakinkan bahwa, seperti kata John Gardner, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.” Mematrikan keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan afektif-emotif berbasis seni-budaya dan inspirasi keagamaan akan jauh lebih efektif.

Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus dijadikan paradigma keilmuan yang melahirkan teori-teori pengetahuan dan komunitas epistemiknya. Proses objektivikasi ini penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Setiap rancangan perundang-undangan selalu didahului oleh naskah akademik. Jika pasokan teoritis atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang bersumber dari paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan perundang-undangan yang tak sejalan dengan imperatif moral Pancasila.

Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

                                                        ***************
Sejarah jatuh-bangunnya bangsa-bangsa dan peradaban memberi pelajaran bahwa perkembangan suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter, etos dan etika sosial bangsa yang bersangkutan. Krisis karakter dan moralitas yang melanda suatu bangsa dapat mengarah pada kebangkrutan bangsa yang bersangkutan.

Telah berlalu masa yang panjang ketika gairah keagamaan tidak memijarkan keinsyafan berbudi dan tidak pula mendorong etos kerja dan semangat berbagi.  Mayoritas penduduk masih percaya pada Tuhan, tetapi moralitas Ketuhanan itu sendiri kian terlepas dari praktik politik. Kehidupan politik disuburkan oleh nilai-nilai rendah, kurang menumbuhkan nilai-nilai luhur. Praktik politik direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti sipilitas, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.

Kita perlu memperkuat kembali visi politik yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional yang terus membayang berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha pemulihan perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana dan perilaku politik.

Sila Ketuhanan menekankan prinsip bahwa moralitas dan spiritualitas keagamaan berperan penting sebagai bantalan vital bagi keutuhan dan keberlangsungan suatu negara-bangsa. Hanya saja, sebelum agama dijadikan panduan moralitas dan kejuangan politik, (komunitas) agama sendiri dituntut melakukan refleksi dan pembenahan diri. Cara beragama harus diperbaharui dengan melakukan transformasi pada dimensi mitos, logos dan etos keagamaan.

Mitos lama yang mempercayai bahwa kemenangan suatu kelompok keagamaan harus dibayar oleh kekalahan kelompok lain harus diakhiri. Kepercayaan baru perlu dihadirkan dengan kejembaran untuk berbagi kebahagian dengan merayakan kemenangan secara bersama. Pengetahuan dan pemahaman (logos) keagamaan perlu ditingkatkan dan diperkaya secara intertekstual dengan narasi-narasi lainnya, karena kedangkalan dan kepicikan merupakan pangkal fundamentalisme. Etos keagamaan juga perlu ditransformasikan dari etos kependekaran dan kepremanan (yang mendorong kekerasan) menuju etos kerja dan kreativitas  (yang mendorong produktivitas dan daya saing bangsa).

Komunitas agama-agama dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama mereka sebagai pembawa kebaikan untuk semua. Masalah yang secara khusus dihadapi suatu komunitas agama tidak dapat dipandang akan dapat diselesaikan hanya oleh mereka sendiri. Jika kerusakan moral merupakan sumber pokok krisis kenegaraan dan kebangsaan, maka usaha untuk menyembuhkannya bukan dengan jalan mengedapankan eksklusivisme simbol-simbol keagamaan, melainkan dengan lebih menekankan inklusivisme nilai etis-profetis agama-agama.

0 komentar:

Posting Komentar